Kamis, 09 April 2015

Unsur Moral Dalam Cerita Rakyat “Batu Menangis” Dari Kalimantan


 
Abstrak

 Karya sastra sebagai media komunikasi dalam menyampaikan aturan tentang nilai-nilai moral kepada para pembacanya baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.
Kajian sastra aliran moralisme tidak terbatas hanya pada satu genre sastra, melainkan bersifat absolut. Kajian sastra moralisme dapat di implementasikan pada cerpen, novel, sajak, pantun, dan cerita rakyat.
Tulisan ini berusaha mengkaji nilai-nilai moral yang terdapat dalam dalam karya sastra Cerita Rakyat. Pendekatan yang dibahas dalam tulisan ini adalah yang berkaitan dengan konsep yang telah dirumuskan oleh masyarakat secara umum dalam menentukan nilai-nilai moral baik dan buruk.
Pada kajian ini penulis mencoba mengimplementasikanya pada sebuah Cerita Rakyat yang berjudul “Batu Menangis” dari Kalimantan.
Dalam memberikan ukuran moral pada karya ini, penulis lebih menitikberatkan kepada masalah isi seperti tema, pemikiran, falsafah, dan pesan-pesan pengarang yang tergambar pada prilaku tokoh dan penokohannya serta dikaitkan dengan alur dan latar.

Kata Kunci : Unsur, Moral, Cerita Rakyat




PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      Cerita rakyat merupakan prosa lama berupa tradisi lisan. Dalam bahasa sehari-hari cerita rakyat lebih dikenal masyarakat sebagai dongeng. Dongeng ini, hidup dan berkembang dalam masyarakat tertentu, tetapi tidak pernah diketahui siapa pengarangnya. Sebagai genre sastra lisan, cerita rakyat memiliki manfaat yang banyak bagi masyarakat pendukungnya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan maupun nilai-nilai moral yang bermanfaat.
      Cerita rakyat merupakan suatu cerita fantasi yang kejadian-kejadiaanya tidak benar-benar terjadi. Cerita rakyat disajikan dengan  cara berutur lisan oleh tukang cerita. Goldman menyatakan bahwa karya sastra yang juga termasuk sastra lisan, merupakan struktur yang lahir dari proses sejarah yang terus berlangsung yang hidup dan dihayati masyarakat asal karya sastra itu lahir (Faruk, 1999:12). Sejalan dengan itu Mattaliji mengemukakan bahwa sastra lisan mempunyai hubungan erat dengan masyarakat tempat sastra lisan itu berada, baik dalam hubungannya dengan masyarakat di masa lalu, masa sekarang, maupun masa yang akan dating (Larupa, dkk. 2002:1).
      Dalam kehidupan anak-anak, cerita rakyat sering kali menjadi kisah yang sangat menarik bagi sang anak  sehingga menjadi senjata paling ampuh bagi sang ibu untuk menidurkan anaknya. Tanpa disadari, sebenarnya cerita rakyat yang didengar secara tidak langsung akan membentuk sikap dan moral sang anak. Ajaran atau kandungan moral dalam cerita rakyat,  akan membentuk sang anak manjadi patuh terhadap kedua orang tuanya. Anak-anak akan merasa takut menjadi durhaka karena teringat hukuman atau balasan yang diterima sang anak dalam cerita-cerita jika durhaka terhadap orang tuanya. Dengan demikian cerita rakyat tidak hanya sebagai cerita pengantar tidur akan tetapi dapat membentuk moral anak-anak. Cerita rakyat sebagai salah satu hiburan dalam masyarakat tampaknya tenggelam oleh cerita sinetron dan sejenisnya yang disuguhkan di televise. Salah satu alasannya karena sinetron lebih nyata alurnya sehingga mudah dipahami dan dinikmati. Padahal cerita rakyat merupakan tradisi budaya yang memegang nilai-nilai luhur. Di dalamnya terdapat ajaran moral yang bermanfaat bagi generasi penerus untuk menjaga sifat-sifat budaya bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
      Secara spesifik cerita rakyat Batu Menangis sebagai cerita rakyat masyarakat Kalimantan bertemakan tentang anak yang durhaka karena tidak mengakui orang tuanya. Hal ini mengajarkan bahwa seorang anak tidak boleh berani bahkan tidak mengakui ibunya meskipun  berparas cantik.  Selain itu, dalam cerita rakyat ini  mengandung nilai luhur bangsa terutama nilai-nilai budi pekerti  maupun ajaran moral yakni nilai moral individual dan nilai moral sosial.
      Dari uraian di atas semakin mendorong penulis untuk melakukan analisis secara ilmiah terhadap certa rakyatBatu Menangis, dengan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam cerita tersebut sebagai nilai yang bermanfaat bagi pembaca. Hasil analisis ini diharapkan dapat meningkatkan rasa kecintaan  kita terhadap cerita rakyat sekaligus menjaga karya sastra bangsa kita dari kepunahan.

1.2  Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam analisis cerita rakyat ini adalah
1.      Unsur intrinsik apa saja yang terkandung dalam cerita rakyat “Batu Menangis”?
2.      Bagaimana nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat “Batu Menangis”?

1.3 Tujuan
       Tujuan dari analisis ini adalah
1.      Mendeskripsikan unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat “Batu Menangis”.
2.      Mendeskripsikan nilai-nilai moral dalam cerita rakyat “Batu Menangis.


1.4   Manfaat
      Manfaat dari analisis cerita rakyat adalah sebagai berikut :
a.       Dapat memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Batu Menangis.”.
b.      Dapat digunakan sebagai pengetahuan yang perlu dilestarikan, dan dapat menambah pengetahuan sastra lisan bagi pembaca dan penulis, khususnya materi pengajaran bahasa dan sastra


LANDASAN TEORI
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, tema, amanat, tokoh dan penokohan, lattar, alur, dan sudut pandang. Berikut ini akan diuraikan teori pendukung dalam penelitian ini.
A.    Unsur-Unsur Karya Sastra
Setiap karya sastra mempunyai dua unsur utama. Pertama, unsur ekstrinsik yaitu hal-hal yang mempengaruhi karya sastra yang berasal dari luar. Kedua, unsur intrinsik yaitu hal-hal yang membangun karya sastra itu dari dalam.
Yang termasuk unsur ekstrinsik karya sastra yaitu faktor-faktor sosiologi, ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang turut berperanan dalam penciptaan karya sastra. Unsur ekstrinsik itu merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi karya sastra dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti dan pengaruhnya.Walaupun penting unsur-unsur ekstrinsik tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya sastra.
Eksistensi karya sastra terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan unsure ekstrinsiknya. Unsur-unsur intrinsik karya sastra yaitu faktor dari dalam yang aktif berperanan sehingga memungkinkan sebuah karangan menjadi karya sastra. Selanjutnya menurut Renne Wellek (1995: 85) mengatakan bahwa para kritikus sastra membedakan tiga macam unsur intrinsik karya sastra yaitu, plot, penokohan dan setting. Sedangkan Hutagalung (dalam Jabrohim, 2001:70) membagi unsur intrinsik menjadi: isi, plot, perwatakan, seting dan gaya bahasa. Tidak ketinggalan pula Jakob Sumardjo (dalam Yetti,1998:25) mengatakan bahwa unsur intrinsik karya sastra adalah tema, karakter, plot, sudut pandang, setting dan suasana.
Demikianlah berbagai pendapat mengenai unsur-unsur intrinsik karya sastra. Apabila
diteliti terdapat kesamaan dan perbedaan diantara pendapat-pendapat itu, namun semuanya dapat memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai karya sastra. Berdasarkan aneka pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur intrinsik karya sastra adalah: tema,
tokoh dan penokohan, alur, latar dan gaya bahasa (Fanani, 1994: 15-16).


a. Unsur Intrinsik Karya sastra
Unsur intrinsik adalah unsur dalam karya sastra yang ikut serta membangun karya
sastra itu sendiri. Kehidupan di dalam karya sastra yang ikut serta membangun karya itu
sendiri (Suroto, 1989: 88). Unsur intrinsik karya sastra antara lain.

1. Tema
Pada hakekatnya, tema itu merupakan suatu ide pokok . Boleh juga dikatakan tema itu merupakan pikiran atau perasaan pengarang karena di dalam sebuah cerita terdapat suatu bayangan mengenai pandangan hidup atau citra pengarang tentang cara memperlihatkan masalah. Masalah itu bisa terwujud tentang apa saja sesuai dengan kehendak pengarang. Jadi pengarang itu berhak menampilkan apa yang dialaminya Pradopo (dalam Fanani, 1994: 4-5). Tema berarti pokok pikiran; dasar cerita, latihan menerjemahkan dari bahasa sendiri ke bahasa asing, Poerwadarminta (dalam Mido, 1994: 15-16), sedangkan Boens Oemarjati berpendapat bahwa tema adalah persoalan yang telah menduduki tempat khas dalam pemikiran pengarang. Dalam tema tersirat tujuan cerita, tetapi bukan tujuan itu sendiri. Hutagalung menyusul pendapat mengenai tema, ia menegaskan bahwa tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat
utama dalam cerita. Penentuan tema itu bukan tergantung pada yang mana yang paling penting bagi pengarang, tetapi persoalan penafsiran kita sebagai penelaah.
Tentu saja dengan alasan-alasan yang kuat (Mido, 1994 :17-18).
Tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat yang khas dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi dan emosi menjurus pada suatu penyelesaian. Jadi dalam  tema terimplisit tujuan cerita, tetapi bukan tujuan itu sendiri. Cara yang tepat dalam menentukan amanat sebuah karya sastra adalah dengan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam karya sastra itu.

2. Amanat
Amanat di dalam sebuah cerita kadang-kadang diketahui secara eksplisit,
yakni amanat itu berupa suatu ajaran atau petunjuk yang ditunjukan langsung kepada pembaca. Kemungkinan lain amanat itu dinyatakan dengan implisit. Dalam hal ini amanat dalam cerita itu tidak dapat diketahui dengan jelas, biasanya perilaku tokoh merupakan sumber utama yang dapat menentukan amanat sebuah cerita. Amanat itu dilukiskan dengan halus, melalui tingkah laku atau watak para tokoh yang berperan dalam sebuah cerita. Amanat itu akan dipertahankan kehadirannya di dalam sebuah cerita jika unsur-unsur yang lain, seperti alur dan tokoh itu turut mendukung (Wellek dan Warren, 1995: 282).

3. Latar
Latar di dalam sebuah karya sastra merupakan tempat peristiwa sebuah cerita itu berlangsung. Latar juga boleh diartikan waktu atau berlangsungnya suatu peristiwa karena latar itu sekaligus merupakan lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonomia, atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh (Wellek, dan Waren 1995:290-300).
Menurut Hutagalung latar adalah gambaran tempat dan waktu segala situasi ditempat terjadinya peristiwa di dalam karya sastra. Sedangkan Murphy berpendapat bahwa latar adalah hidup para tokoh/pelaku. Jakob Sumardjo mengemukakan pendapatnya bahwa latar adalah tempat bermainnya cerita.
Ada tiga unsur latar yaitu; waktu, tempat dan suasana. Unsur inilah yang
membentuk latar, ketiganya tidak dapat dipisahkan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan padu, Murphy (dalam Fanani,1994:51-52).


4.Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita. Tokoh yang dijadikan pelaku dalam karya sastra hendaknya tokoh yang hidup bukan tokoh mati yang merupakan boneka ditangan pengarang. Tokoh hidup adalah tokoh yang berpribadi, berwatak dan memiliki sifat tertentu. Penokohan di dalam karya sastra adalah cara seorang pengarang untuk menampilkan para pelaku melalui sifat, sikap dan tingkah lakunya.
Menurut cara pengungkapannya, penokohan dapat dicapai dengan dua cara: cara analitik/langsung dan dramatik/tidak langsung. Pada cara analitik pengarang mengisahkan secara langsung sifat-sifat, tabiat, latar belakang, pikiran dan perasaan tokoh. Sedangkan penokohan secara dramatik dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Antara lain melalui pengungkapan lingkungan hidup tokoh, dialog yang satu dengan yang lain, perbuatan tokoh dan lain-lain, Mochtar Lubis (dalam Eneste, 1989:24-25).
Bentuk penokohan yang paling sederhana ialah memberi sebuah nama kepada seseorang atau nama sebuah tempat. Penyebutan nama itu merupakan bentuk atau cara untuk memberikan kepribadian atau menghidupkan para pelaku di dalam sebuah cerita (Wellek, 1995:287).
Hutagalung (Mido, 1994:60 menyatakan bahwa penokohan merupakan proses perwujudan kualitas individual sebuah peran tertentu dalam karya sastra. Peran itu akan terlihat dalam aktivitas tokoh. Pada hakikatnya, penokohan dan alur cerita dalam sebuah karya sastra tidak dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama. Sebuah cerita tidak akan mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi.  Oleh karena itu, antara tokoh dan alur cerita saling berkaitan dan hubungannya pun sangat erat.Dalam  penelitian ini pendekatan atau teori yang digunakan adalah teori struktural. Masalah struktur, Wellek dan Waren (1995: 78) memberi batasan bahwa “struktur pengertiannya dimasukan kedalam isi dan bentuk sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan eseptik”. Jadi sruktur karya sastra terdiri dari bentuk dan isi.

5. Alur
Plot atau alur sebuah cerita adalah struktur naratif sebuah novel (Wellek dan
Warren, 1995: 284). Dapat dibagi menjadi:
a. Pemaparan atau pendahuluan, yaitu: bagian cerita tempat pengarang mulai
    mendiskusikan suatu keadaan yang menjadi awal cerita.
b. Penggawatan, yaitu bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat    dalam cerita mulai bergerak, sehingga bagian ini akan terasa adanya konflik.
c. Penanjakan, yaitu bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik yang memulai memuncak.
d. Puncak atau klimaks yaitu bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua cerita atau bagian-bagian sebelumnya.

Alur adalah peristiwa yang bersambung-sambung dalam sebuah cerita berdasarkan sebab akibat. Alur atau plot ialah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita (Suroto, 1989: 89). Ada beberapa jenis alur, yaitu alur linear, sorot balik/flash back, dan alur datar. Alur linear adalah alur yang terdapat sebuah cerita yang peristiwanya susul menyusul secara temporal. Alur sorot balik atau flash back adalah alur yang disusun menurut urutan kronologis, peristiwa yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya. Alur dikatakan datar jika hampir tidak terasa adanya gawatan, klimaks dan leraian.

6. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam pengisahan cerita karta sastra.
Dimana pengarang dapat mengisahkan posisinya dengan dua cara yaitu:
 1) dengan metode orang pertama,
 2) dengan metode orang ketiga.
Apabila dalam karya sastra pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku, saya) berarti karya sastra tersebut menggunakan sudut pandang orang pertama. Dan apabila dalam karya sastra pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga (dia, mereka) atau menggunakan nama orang, maka karya sastra tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga (Suroto, 1989: 96-97).
Sudut pandang adalah cara seseorang memandang peristiwa yang ada dalam suatu cerita. Cara memandang setiap orang biasanya berbeda tergantung dari mana orang tersebut memandang, dari sudut konflik dalam cerita, tema, pengarang, bahkan pembaca. Tetapi biasanya yang dimaksud dengan sudut pandang dalam karya sastra kaitannya dengan posisi pengarang di dalam cerita (Yetti, 1998: 60)

b. Unsur Ekstrinsik Karya Sastra
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur pembangun karya sastra yang berada di luar karya sastra, namun turut menentukan bentuk dan isi suatu karya sastra atau cerita. Antara lain unsur politik, agama, sosial, budaya, psikologi dan lain sebagainya yang biasa membangun karya sastra tersebut Semi (1993: 60).
Unsur ekstrinsik karya sastra merupakan unsur yang ada di luar karya sastra tetapi pada dasarnya ikut serta membangun cerita di dalam karya sastra itu sendiri Suroto (1989: 70).
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur karya sastra yang berada di luar karya sastra tetapi ikut membangun terbentuknya karya sastra itu sendiri (Wellek dan Waren 1995: 79).

B.     Teori yang Digunakan
Sastra merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus menerus.
Perkembangan studi sastra dapat kita lihat dengan munculnya berbagai jenis karya sastra, antara lain; novel, cerpen, puisi dan buku-buku sastra lain yang mendukung berkembangnya kesusastraan.
Dalam memahami karya sastra kita harus menggunakan suatu teori atau pendekatan. Dalam analisis Cerita Rakyat “Batu Menangis” ini penulis menggunakan pendekatan struktural, yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk memahami karya sastra berdasarkan strukturnya. Jadi dalam memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur karya sastra. Atau prinsip yang lebih tegas lagi, analisis struktur bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat keterkaitan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Analisis struktur bukanlah penjumlahan unsur-unsur melainkan yang penting adalah sumbangan apa yang diberikan oleh semua unsur pada keseluruhan makna dalam keterlibatannya dan keterjalinannya (Teeuw, 1984: 135).
Ciri utama struktur adalah perhatiannya adalah totalitas lebih penting dari bagianbagiannya.
Ciri-ciri lain adalah:
1)       tidak menelaah struktur atau unsur berdasarkan
permukaannya saja, namun juga yang ada hubungannya dengan kenyataan empiris,
2) analisis menyangkut unsur sinkronis sehingga perhatiannya lebih ditekankan pada hubungan yang ada pada suatu saat tertentu (Jabrohim, 2001: 38)





PEMBAHASAN


3.1 Unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat Batu Menangis
Dalam cerita rakyat  Batu Menangis terdapat beberapa unsur. Unsur tersebut antara lain;
1.      Tema               : anak yang telah mendurhakai orang tua.
2.      Tokoh             :
a)      Darmi
·         Fisik Tokoh:
è Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal.
·         Psikologis Tokoh:
è “Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
è “Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
è “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”

b)      Ibu Kandungnya.
·         Fisik Tokoh :
è ibunya sudah bungkuk memakai baju lusuh penuh tambalan.
·         Psikologis Tokoh:
è “Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.



3.      Perwatakan               :
                               I.            Sombong, Pemalas, Manja, Pemaksa, dan Durhaka. Dikutip dari kalimat:
·         Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini
.
·         Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari
·         Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya
·         “Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
·         “Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
·         “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”

                            II.            Baik, Sabar, Pekerja Keras. Dikutip dari kalimat:
·         Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah
·         “Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.

4.      Latar                          :
a.       Latar Tempat:
·         Kamar. Dikutip dari kalimat:
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
·         Di jalan :
Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri.

b.      Latar Suasana:
·         Mengharukan. Dikutip dari kalimat:
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”

·         Menakutkan. Dikutip dari kalimat:
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.

·         Marah. Dikutip dari kalimat:
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.

c.       Latar Waktu:
·         Pagi hari. Dikutip dari kalimat:
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya
.


5.      Alur      :  Maju
Darmi berjalan dengan ibunya ke pasar  dipertengahan jalan dia bertemu  dengan pemuda. Saat ditanya apakah itu Ibunya, Darmi tidak mengakuinya karena penampilan ibunya  compang-camping. Ibunya sedih, dan berdoa meminta keadilan pada Tuhan. akhirnya badai petir menyambar gadis itu berlahan Ia pun menjadi batu, gadis itu menangis memohon ampun, namun semua terlambat.


6.      Sudut Pandang  : Orang ketiga (Serba tahu ). Dikutip dari kalimat:
·         Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
·         Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.





7.      Amanat :
Jangan pernah menyakiti hati kedua orang tua ,terutama ibu karena doa seorang ibu sangat diijabahi Tuhan.


3.2 Nilai Ekstrinsik yang terkandung dalam Cerita rakyat Batu Menangis.
           
a)      Nilai Moral : nilai-nilai yang menyangkut masalah kesusilaan, masalah budi, yang erat kaitannya antara manusia dan makhluk-makhluk lain ciptaan tuhan.

Contoh:
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
Pesan moral diatas adalah jangan pernah menyakiti hati orang tua terutama seorang ibu. Karena doa ibu sangat di ijabahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Perkataan yang di ucapkan oleh ibu akan menjadi kenyataan. Dan jangan pernah menjadi anak seperti Darmi yang mendurhakai ibunya.





 SIMPULAN


            Pada Cerita Rakyat “Batu Menangis” ini menceritakan mengenai seorang gadis bernama Darmi yang durhaka kepada ibunya dan tidak mau mengakui ibunya sendiri. Dan pada akhirnya ibunya mengutuknya menjadi batu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Setiap ucapan orang tua akan menjadi doa. Dan jangan pernah menyakiti hati orang tua. Cerita Rakyat tersebut mengandung banyak nilai moral yang dapat dijadikan pelajaran untuk generasi muda di era modern saat ini.


DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Surana. 2004. Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia: Aku  Cinta Bahasa Indonesia, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Najid, Moh. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi, Yogyakarta: University Press.
           


LAMPIRAN
BATU MENANGIS
Legenda dari Kalimantan.

Dahulu kala di desa terpencil di atas bukit hiduplah seorang janda yang mempunyai anak yang sangat cantik bernama Darmi.  Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. , Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain,. Apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikitpun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
Suatu saat Darmi meminta uang pada ibunya untuk membeli pakaian mahal, tetapi ibunya tidak punya uang. Darmi tetap memaksa ibunya memberinya uang  dengan berkata kasar dan tanpa memperdulikan ibunya yang mengiba. Sehingga terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang dengan anak semata wayangnya itu.
Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu  hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi Ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud. Lalu ibunya berinisiatif mengajaknya kepasar. Tetapi Darmi malu jika harus berjalan beriringan dengan ibunya yang memakai pakaian kumuh dan kumal. Dengan sabar ibunya mengatakan akan berjalan di belakangnya dan tidak akan mengajaknya berbicara.
Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya sudah bungkuk memakai baju lusuh penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya, dan bertanya siapa wanita yang ada dibelakangnya . Darmi menjawab bahwa yang berjalan dibelakangnya adalah pembantunya. Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.

Kejadian itu berulang terus-menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya mengapa ia tidak mau mengakuinya sebagai ibunya. Tapi, Darmi malah berkata kasar yang menyakiti hati ibunya. Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya. Ibu Darmi sambil bercucuran air  mata mengadukan dukanya Kepada Tuhan . Wajahnya menengadah kelangit dan dari mulutnya keluarlah kutukan.
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.

2 komentar: