Abstrak
Karya sastra sebagai media komunikasi dalam
menyampaikan aturan tentang nilai-nilai moral kepada para pembacanya baik
anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.
Kajian
sastra aliran moralisme tidak terbatas hanya pada satu genre sastra,
melainkan bersifat absolut. Kajian sastra moralisme dapat di implementasikan
pada cerpen, novel, sajak, pantun, dan cerita rakyat.
Tulisan
ini berusaha mengkaji nilai-nilai moral yang terdapat dalam dalam karya sastra
Cerita Rakyat. Pendekatan yang dibahas dalam tulisan ini adalah yang berkaitan
dengan konsep yang telah dirumuskan oleh masyarakat secara umum dalam
menentukan nilai-nilai moral baik dan buruk.
Pada
kajian ini penulis mencoba mengimplementasikanya pada sebuah Cerita Rakyat yang
berjudul “Batu Menangis”
dari Kalimantan.
Dalam
memberikan ukuran moral pada karya ini, penulis lebih menitikberatkan kepada
masalah isi seperti tema, pemikiran, falsafah, dan pesan-pesan pengarang yang
tergambar pada prilaku tokoh dan penokohannya serta dikaitkan dengan alur dan
latar.
Kata Kunci : Unsur, Moral, Cerita
Rakyat
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Cerita
rakyat merupakan prosa lama berupa tradisi lisan. Dalam bahasa sehari-hari
cerita rakyat lebih dikenal masyarakat sebagai dongeng. Dongeng ini, hidup dan
berkembang dalam masyarakat tertentu, tetapi tidak pernah diketahui siapa
pengarangnya. Sebagai genre sastra lisan, cerita rakyat memiliki manfaat yang
banyak bagi masyarakat pendukungnya. Di dalamnya terkandung nilai-nilai
pendidikan maupun nilai-nilai moral yang bermanfaat.
Cerita
rakyat merupakan suatu cerita fantasi yang kejadian-kejadiaanya tidak
benar-benar terjadi. Cerita rakyat disajikan dengan cara berutur lisan
oleh tukang cerita. Goldman menyatakan bahwa karya sastra yang juga termasuk
sastra lisan, merupakan struktur yang lahir dari proses sejarah yang terus
berlangsung yang hidup dan dihayati masyarakat asal karya sastra itu lahir
(Faruk, 1999:12). Sejalan dengan itu Mattaliji mengemukakan bahwa sastra lisan
mempunyai hubungan erat dengan masyarakat tempat sastra lisan itu berada, baik
dalam hubungannya dengan masyarakat di masa lalu, masa sekarang, maupun masa
yang akan dating (Larupa, dkk. 2002:1).
Dalam
kehidupan anak-anak, cerita rakyat sering kali menjadi kisah yang sangat
menarik bagi sang anak sehingga menjadi senjata paling ampuh bagi sang
ibu untuk menidurkan anaknya. Tanpa disadari, sebenarnya cerita rakyat yang
didengar secara tidak langsung akan membentuk sikap dan moral sang anak. Ajaran
atau kandungan moral dalam cerita rakyat, akan membentuk sang anak
manjadi patuh terhadap kedua orang tuanya. Anak-anak
akan merasa takut menjadi durhaka karena teringat hukuman atau balasan yang
diterima sang anak dalam cerita-cerita jika durhaka terhadap orang tuanya.
Dengan demikian cerita rakyat tidak hanya sebagai cerita pengantar tidur akan
tetapi dapat membentuk moral anak-anak. Cerita rakyat sebagai salah satu
hiburan dalam masyarakat tampaknya tenggelam oleh cerita sinetron dan
sejenisnya yang disuguhkan di televise. Salah satu alasannya karena sinetron
lebih nyata alurnya sehingga mudah dipahami dan dinikmati. Padahal cerita
rakyat merupakan tradisi budaya yang memegang nilai-nilai luhur. Di dalamnya
terdapat ajaran moral yang bermanfaat bagi generasi penerus untuk menjaga
sifat-sifat budaya bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Secara spesifik cerita rakyat Batu Menangis sebagai cerita rakyat masyarakat Kalimantan bertemakan tentang anak
yang durhaka karena tidak mengakui orang tuanya. Hal ini mengajarkan bahwa
seorang anak tidak boleh berani bahkan tidak mengakui ibunya meskipun berparas
cantik. Selain itu, dalam cerita
rakyat ini mengandung nilai luhur bangsa
terutama nilai-nilai budi pekerti maupun ajaran moral yakni nilai moral
individual dan nilai moral sosial.
Dari uraian di atas semakin mendorong penulis untuk melakukan
analisis secara ilmiah terhadap certa rakyatBatu
Menangis, dengan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan
yang terdapat dalam cerita tersebut sebagai nilai yang bermanfaat bagi pembaca.
Hasil analisis ini diharapkan dapat meningkatkan rasa kecintaan kita
terhadap cerita rakyat sekaligus menjaga karya sastra bangsa kita dari
kepunahan.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam analisis cerita rakyat
ini adalah
1.
Unsur intrinsik apa saja yang
terkandung dalam cerita rakyat “Batu Menangis”?
2.
Bagaimana nilai moral yang terkandung
dalam cerita rakyat “Batu Menangis”?
1.3
Tujuan
Tujuan dari analisis
ini adalah
1. Mendeskripsikan
unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat “Batu Menangis”.
2. Mendeskripsikan
nilai-nilai moral dalam cerita rakyat “Batu
Menangis.”
1.4 Manfaat
Manfaat
dari analisis cerita rakyat adalah sebagai berikut :
a.
Dapat memperoleh pemahaman tentang
nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Batu
Menangis.”.
b. Dapat
digunakan sebagai pengetahuan yang perlu dilestarikan, dan dapat menambah
pengetahuan sastra lisan bagi pembaca dan penulis, khususnya materi pengajaran
bahasa dan sastra
LANDASAN TEORI
Untuk
mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya
antara lain; hakekat pendekatan struktural, tema, amanat, tokoh dan penokohan,
lattar, alur, dan sudut pandang. Berikut ini akan diuraikan teori pendukung
dalam penelitian ini.
A. Unsur-Unsur
Karya Sastra
Setiap karya sastra mempunyai dua unsur utama.
Pertama, unsur ekstrinsik yaitu hal-hal yang mempengaruhi karya sastra yang
berasal dari luar. Kedua, unsur intrinsik yaitu hal-hal yang membangun karya
sastra itu dari dalam.
Yang termasuk unsur ekstrinsik karya sastra yaitu
faktor-faktor sosiologi, ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain
yang turut berperanan dalam penciptaan karya sastra. Unsur ekstrinsik itu
merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi karya sastra dan tidak dapat
diabaikan karena mempunyai nilai, arti dan pengaruhnya.Walaupun penting unsur-unsur
ekstrinsik tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya sastra.
Eksistensi karya sastra terletak pada unsur
intrinsiknya tanpa mengabaikan unsure ekstrinsiknya. Unsur-unsur intrinsik
karya sastra yaitu faktor dari dalam yang aktif berperanan sehingga
memungkinkan sebuah karangan menjadi karya sastra. Selanjutnya menurut Renne
Wellek (1995: 85) mengatakan bahwa para kritikus sastra membedakan tiga macam
unsur intrinsik karya sastra yaitu, plot, penokohan dan setting. Sedangkan
Hutagalung (dalam Jabrohim, 2001:70) membagi unsur intrinsik menjadi: isi,
plot, perwatakan, seting dan gaya bahasa. Tidak ketinggalan pula Jakob Sumardjo
(dalam Yetti,1998:25) mengatakan bahwa unsur intrinsik karya sastra adalah
tema, karakter, plot, sudut pandang, setting dan suasana.
Demikianlah berbagai pendapat mengenai unsur-unsur
intrinsik karya sastra. Apabila
diteliti
terdapat kesamaan dan perbedaan diantara pendapat-pendapat itu, namun semuanya dapat
memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai karya sastra. Berdasarkan
aneka pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur intrinsik karya
sastra adalah: tema,
tokoh
dan penokohan, alur, latar dan gaya bahasa (Fanani, 1994: 15-16).
a.
Unsur Intrinsik Karya sastra
Unsur intrinsik adalah unsur dalam karya sastra yang
ikut serta membangun karya
sastra
itu sendiri. Kehidupan di dalam karya sastra yang ikut serta membangun karya
itu
sendiri
(Suroto, 1989: 88). Unsur intrinsik karya sastra antara lain.
1.
Tema
Pada hakekatnya, tema itu merupakan suatu ide pokok
. Boleh juga dikatakan tema itu merupakan pikiran atau perasaan pengarang
karena di dalam sebuah cerita terdapat suatu bayangan mengenai pandangan hidup
atau citra pengarang tentang cara memperlihatkan masalah. Masalah itu bisa terwujud
tentang apa saja sesuai dengan kehendak pengarang. Jadi pengarang itu berhak
menampilkan apa yang dialaminya Pradopo (dalam Fanani, 1994: 4-5). Tema berarti
pokok pikiran; dasar cerita, latihan menerjemahkan dari bahasa sendiri ke
bahasa asing, Poerwadarminta (dalam Mido, 1994: 15-16), sedangkan Boens
Oemarjati berpendapat bahwa tema adalah persoalan yang telah menduduki tempat
khas dalam pemikiran pengarang. Dalam tema tersirat tujuan cerita, tetapi bukan
tujuan itu sendiri. Hutagalung menyusul pendapat mengenai tema, ia menegaskan
bahwa tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat
utama
dalam cerita. Penentuan tema itu bukan tergantung pada yang mana yang paling penting
bagi pengarang, tetapi persoalan penafsiran kita sebagai penelaah.
Tentu
saja dengan alasan-alasan yang kuat (Mido, 1994 :17-18).
Tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki
tempat yang khas dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi
dan emosi menjurus pada suatu penyelesaian. Jadi dalam tema terimplisit tujuan cerita, tetapi bukan
tujuan itu sendiri. Cara yang tepat dalam menentukan amanat sebuah karya sastra
adalah dengan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam karya sastra
itu.
2.
Amanat
Amanat di dalam sebuah cerita kadang-kadang diketahui
secara eksplisit,
yakni
amanat itu berupa suatu ajaran atau petunjuk yang ditunjukan langsung kepada pembaca.
Kemungkinan lain amanat itu dinyatakan dengan implisit. Dalam hal ini amanat
dalam cerita itu tidak dapat diketahui dengan jelas, biasanya perilaku tokoh merupakan
sumber utama yang dapat menentukan amanat sebuah cerita. Amanat itu dilukiskan
dengan halus, melalui tingkah laku atau watak para tokoh yang berperan dalam
sebuah cerita. Amanat itu akan dipertahankan kehadirannya di dalam sebuah cerita
jika unsur-unsur yang lain, seperti alur dan tokoh itu turut mendukung (Wellek dan
Warren, 1995: 282).
3.
Latar
Latar di dalam sebuah karya sastra merupakan tempat
peristiwa sebuah cerita itu berlangsung. Latar juga boleh diartikan waktu atau berlangsungnya
suatu peristiwa karena latar itu sekaligus merupakan lingkungan yang dapat
berfungsi sebagai metonomia, atau metafora untuk mengekspresikan para tokoh
(Wellek, dan Waren 1995:290-300).
Menurut Hutagalung latar adalah gambaran tempat dan
waktu segala situasi ditempat terjadinya peristiwa di dalam karya sastra.
Sedangkan Murphy berpendapat bahwa latar adalah hidup para tokoh/pelaku. Jakob
Sumardjo mengemukakan pendapatnya bahwa latar adalah tempat bermainnya cerita.
Ada tiga unsur latar yaitu; waktu, tempat dan
suasana. Unsur inilah yang
membentuk
latar, ketiganya tidak dapat dipisahkan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
padu, Murphy (dalam Fanani,1994:51-52).
4.Tokoh
dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita. Tokoh yang dijadikan
pelaku dalam karya sastra hendaknya tokoh yang hidup bukan tokoh mati yang
merupakan boneka ditangan pengarang. Tokoh hidup adalah tokoh yang berpribadi,
berwatak dan memiliki sifat tertentu. Penokohan di dalam karya sastra adalah
cara seorang pengarang untuk menampilkan para pelaku melalui sifat, sikap dan
tingkah lakunya.
Menurut cara pengungkapannya, penokohan dapat
dicapai dengan dua cara: cara analitik/langsung dan dramatik/tidak langsung.
Pada cara analitik pengarang mengisahkan secara langsung sifat-sifat, tabiat,
latar belakang, pikiran dan perasaan tokoh. Sedangkan penokohan secara dramatik
dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Antara lain melalui pengungkapan
lingkungan hidup tokoh, dialog yang satu dengan yang lain, perbuatan tokoh dan
lain-lain, Mochtar Lubis (dalam Eneste, 1989:24-25).
Bentuk penokohan yang paling sederhana ialah memberi
sebuah nama kepada seseorang atau nama sebuah tempat. Penyebutan nama itu
merupakan bentuk atau cara untuk memberikan kepribadian atau menghidupkan para
pelaku di dalam sebuah cerita (Wellek, 1995:287).
Hutagalung (Mido, 1994:60 menyatakan bahwa penokohan
merupakan proses perwujudan kualitas individual sebuah peran tertentu dalam
karya sastra. Peran itu akan terlihat dalam aktivitas tokoh. Pada hakikatnya,
penokohan dan alur cerita dalam sebuah karya sastra tidak dapat dibicarakan
secara terpisah karena kedua unsur itu mempunyai kedudukan dan fungsi yang
sama. Sebuah cerita tidak akan mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya
tidak terpenuhi. Oleh karena itu, antara
tokoh dan alur cerita saling berkaitan dan hubungannya pun sangat erat.Dalam penelitian ini pendekatan atau teori yang
digunakan adalah teori struktural. Masalah struktur, Wellek dan Waren (1995:
78) memberi batasan bahwa “struktur pengertiannya dimasukan kedalam isi dan
bentuk sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan eseptik”. Jadi sruktur
karya sastra terdiri dari bentuk dan isi.
5.
Alur
Plot
atau alur sebuah cerita adalah struktur naratif sebuah novel (Wellek dan
Warren,
1995: 284). Dapat dibagi menjadi:
a. Pemaparan atau pendahuluan, yaitu: bagian cerita
tempat pengarang mulai
mendiskusikan
suatu keadaan yang menjadi awal cerita.
b.
Penggawatan, yaitu bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak, sehingga bagian
ini akan terasa adanya konflik.
c.
Penanjakan, yaitu bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik yang memulai memuncak.
d.
Puncak atau klimaks yaitu bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan masalah
dari semua cerita atau bagian-bagian sebelumnya.
Alur adalah peristiwa yang bersambung-sambung dalam
sebuah cerita berdasarkan sebab akibat. Alur atau plot ialah jalan cerita yang
berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan
menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita (Suroto, 1989: 89).
Ada beberapa jenis alur, yaitu alur linear, sorot balik/flash back, dan alur
datar. Alur linear adalah alur yang terdapat sebuah cerita yang peristiwanya
susul menyusul secara temporal. Alur sorot balik atau flash back adalah alur
yang disusun menurut urutan kronologis, peristiwa yang disajikan dalam karya
sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya. Alur dikatakan datar
jika hampir tidak terasa adanya gawatan, klimaks dan leraian.
6.
Sudut Pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam
pengisahan cerita karta sastra.
Dimana
pengarang dapat mengisahkan posisinya dengan dua cara yaitu:
1) dengan metode orang pertama,
2) dengan metode orang ketiga.
Apabila dalam karya sastra pengarang menggunakan
kata ganti orang pertama (aku, saya) berarti karya sastra tersebut menggunakan
sudut pandang orang pertama. Dan apabila dalam karya sastra pengarang
menggunakan kata ganti orang ketiga (dia, mereka) atau menggunakan nama orang, maka
karya sastra tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga (Suroto, 1989:
96-97).
Sudut pandang adalah cara seseorang memandang
peristiwa yang ada dalam suatu cerita. Cara memandang setiap orang biasanya
berbeda tergantung dari mana orang tersebut memandang, dari sudut konflik dalam
cerita, tema, pengarang, bahkan pembaca. Tetapi biasanya yang dimaksud dengan
sudut pandang dalam karya sastra kaitannya dengan posisi pengarang di dalam
cerita (Yetti, 1998: 60)
b.
Unsur Ekstrinsik Karya Sastra
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur pembangun
karya sastra yang berada di luar karya sastra, namun turut menentukan bentuk
dan isi suatu karya sastra atau cerita. Antara lain unsur politik, agama,
sosial, budaya, psikologi dan lain sebagainya yang biasa membangun karya sastra
tersebut Semi (1993: 60).
Unsur ekstrinsik karya sastra merupakan unsur yang
ada di luar karya sastra tetapi pada dasarnya ikut serta membangun cerita di
dalam karya sastra itu sendiri Suroto (1989: 70).
Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur karya
sastra yang berada di luar karya sastra tetapi ikut membangun terbentuknya
karya sastra itu sendiri (Wellek dan Waren 1995: 79).
B.
Teori
yang Digunakan
Sastra
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus menerus.
Perkembangan studi sastra dapat
kita lihat dengan munculnya berbagai jenis karya sastra, antara lain; novel,
cerpen, puisi dan buku-buku sastra lain yang mendukung berkembangnya kesusastraan.
Dalam
memahami karya sastra kita harus menggunakan suatu teori atau pendekatan. Dalam analisis Cerita Rakyat “Batu Menangis” ini
penulis menggunakan pendekatan struktural, yaitu suatu pendekatan yang
digunakan untuk memahami karya sastra berdasarkan strukturnya. Jadi dalam memahami karya
sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur karya sastra. Atau
prinsip yang lebih tegas lagi, analisis struktur bertujuan membongkar dan memaparkan dengan
cermat keterkaitan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh. Analisis struktur bukanlah penjumlahan unsur-unsur melainkan yang penting
adalah sumbangan apa yang diberikan oleh semua unsur pada keseluruhan makna dalam
keterlibatannya dan keterjalinannya (Teeuw, 1984: 135).
Ciri
utama struktur adalah perhatiannya adalah totalitas lebih penting dari
bagianbagiannya.
Ciri-ciri
lain adalah:
1) tidak menelaah struktur atau unsur berdasarkan
permukaannya
saja, namun juga yang ada hubungannya dengan kenyataan empiris,
2) analisis menyangkut unsur
sinkronis sehingga perhatiannya lebih ditekankan pada hubungan yang ada pada suatu saat
tertentu (Jabrohim, 2001: 38)
PEMBAHASAN
3.1
Unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat Batu Menangis
Dalam
cerita rakyat Batu Menangis terdapat beberapa unsur. Unsur tersebut
antara lain;
1.
Tema : anak yang telah
mendurhakai orang tua.
2.
Tokoh :
a)
Darmi
·
Fisik Tokoh:
è Darmi
terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal.
·
Psikologis
Tokoh:
è “Ibu,
ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi
dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
è
“Ih, aku malu berjalan
bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang
nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
è “Hah
aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas
menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih
pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
b)
Ibu Kandungnya.
·
Fisik Tokoh :
è ibunya
sudah bungkuk memakai baju lusuh penuh tambalan.
·
Psikologis
Tokoh:
è
“Ya sudah kalau kau
malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan
sedih.
3.
Perwatakan
:
I.
Sombong, Pemalas, Manja, Pemaksa, dan Durhaka. Dikutip
dari kalimat:
·
Darmi memandangi
wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.
·
Sebaliknya Darmi adalah
anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras
sepanjang hari
·
Bahkan dengan teganya
dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya
·
“Ih, aku malu berjalan
bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang
nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
·
“Oh bukan! Bukan!. Mana
mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
·
“Hah aku tidak minta
dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu.
Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku
daripada jadi ibuku!”
II.
Baik, Sabar, Pekerja Keras.
Dikutip dari kalimat:
·
Ibunya hanya seorang
janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang
dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di
hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang
lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah
·
“Ya sudah kalau kau
malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan
sedih.
4.
Latar :
a.
Latar Tempat:
·
Kamar. Dikutip dari kalimat:
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin
yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
·
Di jalan :
Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya
dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri.
b. Latar Suasana:
·
Mengharukan.
Dikutip dari kalimat:
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau
mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini
balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
·
Menakutkan. Dikutip
dari kalimat:
Tiba-tiba langit berubah mendung dan
kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan
hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika
dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini
betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak
meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai
air mata.
·
Marah. Dikutip dari kalimat:
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang
lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang
itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!”
kata Darmi dengan kasar.
c.
Latar Waktu:
·
Pagi hari.
Dikutip dari kalimat:
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk
membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
5.
Alur
: Maju
Darmi berjalan dengan ibunya ke pasar dipertengahan jalan dia bertemu dengan
pemuda. Saat ditanya apakah itu Ibunya, Darmi tidak mengakuinya karena
penampilan ibunya compang-camping. Ibunya sedih, dan berdoa meminta keadilan pada Tuhan. akhirnya
badai petir menyambar gadis itu berlahan Ia pun menjadi batu, gadis itu
menangis memohon ampun, namun semua terlambat.
6.
Sudut
Pandang : Orang ketiga (Serba tahu ).
Dikutip dari kalimat:
·
Darmi memandangi
wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
·
Tiba-tiba langit
berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar.
Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya
begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi
batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia
berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya
dengan berderai air mata.
7.
Amanat :
Jangan pernah menyakiti hati
kedua orang tua ,terutama ibu karena doa seorang ibu sangat diijabahi Tuhan.
3.2 Nilai Ekstrinsik
yang terkandung dalam Cerita rakyat Batu Menangis.
a) Nilai Moral : nilai-nilai yang menyangkut masalah kesusilaan,
masalah budi, yang erat kaitannya antara manusia dan makhluk-makhluk lain
ciptaan tuhan.
Contoh:
Darmi memang bukan anak orang kaya.
Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya
bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan.
Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga,
mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah.
Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya
bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk
memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
Ibunya Darmi
sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah
ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan
Tiba-tiba
langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang
menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia
merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah
menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi
ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya
memandangnya dengan berderai air mata.
Pesan moral
diatas adalah jangan pernah menyakiti hati orang tua terutama seorang ibu.
Karena doa ibu sangat di ijabahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Perkataan yang di
ucapkan oleh ibu akan menjadi kenyataan. Dan jangan pernah menjadi anak seperti
Darmi yang mendurhakai ibunya.
SIMPULAN
Pada Cerita
Rakyat “Batu Menangis” ini
menceritakan mengenai seorang gadis bernama Darmi yang durhaka kepada
ibunya dan tidak mau mengakui ibunya sendiri. Dan pada akhirnya ibunya mengutuknya
menjadi batu. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Setiap ucapan orang tua
akan menjadi doa. Dan jangan pernah menyakiti hati orang tua. Cerita Rakyat
tersebut mengandung banyak nilai moral yang dapat dijadikan pelajaran untuk
generasi muda di era modern saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan.
2010. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Surana. 2004. Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia: Aku Cinta
Bahasa Indonesia, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Najid, Moh. Mengenal Apresiasi
Prosa Fiksi, Yogyakarta: University Press.
LAMPIRAN
BATU MENANGIS
Legenda dari Kalimantan.
Dahulu kala
di desa terpencil di atas bukit hiduplah seorang janda yang mempunyai anak yang
sangat cantik bernama Darmi. Darmi memang
bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi
mereka berdua ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam.
Pekerjaan apapun dia lakukan. , Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput
untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain,. Apapun dia kerjakan
untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikitpun
dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan
teganya dia memaksa ibunya memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin
dibelinya.
Suatu saat
Darmi meminta uang pada ibunya untuk membeli pakaian mahal, tetapi ibunya tidak
punya uang. Darmi tetap memaksa ibunya memberinya uang dengan berkata kasar dan tanpa memperdulikan
ibunya yang mengiba. Sehingga terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta
anaknya itu. Dia memang sangat sayang dengan anak semata wayangnya itu.
Begitulah,
hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang
dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang
untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke
pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya
bedak di pasar. Tapi Ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud. Lalu ibunya
berinisiatif mengajaknya kepasar. Tetapi Darmi malu jika harus berjalan
beriringan dengan ibunya yang memakai pakaian kumuh dan kumal. Dengan sabar
ibunya mengatakan akan berjalan di belakangnya dan tidak akan mengajaknya
berbicara.
Akhirnya
mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat
sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya
ibunya sudah bungkuk memakai baju lusuh penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi
bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya, dan bertanya
siapa wanita yang ada dibelakangnya . Darmi menjawab bahwa yang berjalan
dibelakangnya adalah pembantunya. Betapa hancur hati ibunya mendengar anak
kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya
rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu
berulang terus-menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati ibu
semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil
bercucuran air mata dia menegur anaknya mengapa ia tidak mau mengakuinya
sebagai ibunya. Tapi, Darmi malah berkata kasar yang menyakiti hati ibunya. Usai
mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan
langkahnya. Ibu Darmi sambil bercucuran air
mata mengadukan dukanya Kepada Tuhan . Wajahnya menengadah kelangit dan
dari mulutnya keluarlah kutukan.
Tiba-tiba
langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang
menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa
kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah
menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi
ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya
memandangnya dengan berderai air mata.
Ibu Darmi tidak tega melihat
anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi
bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa
memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya
hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.
Bagus sekali
BalasHapusbagus sekali makasih udah bantuin kerjakan
BalasHapus